BLI PUTU: ANTARA DUNIA KORPORAT DAN JIWA UNDERGROUND


Dari pulau dewata, 37 tahun yang lalu, lahirlah seorang anak bernama I Putu Adhyaksana Ariatika. Terlahir dari orang tua yang mengabdi pada pemerintahan, hidupnya sejak kecil sudah terbiasa berpindah-pindah. Dari Bali ke Palu, lalu Probolinggo, Malang, Surabaya, hingga akhirnya kini bermukim di Kupang—semua demi satu hal: mengikuti panggilan tugas. Kini, Putu mengabdi di PLTU Bolok sebagai “budak korporat” yang memegang urusan administrasi dan umum, termasuk program TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan).

Namun, di balik kemeja kerjanya, Putu bukan pria biasa. Ia adalah seorang pencinta musik, seorang penggerak komunitas, dan seorang punk sejati.

Cinta Putu terhadap musik bermula sejak bangku SMP, namun segalanya berubah saat ia duduk di kelas 2 SMA. Satu lagu membuka gerbang dunia baru baginya: Step Down dari Sick Of It All. Dari situ, namanya terjerumus indah dalam skena hardcore punk. Ia mulai mengulik band-band dari Bridge Nine Record—dari Agnostic Front, Champion, H2O, Have Heart, Madball, hingga New Found Glory.

Punk bukan sekadar genre. Punk adalah gaya hidup. Dan bagi Putu, itu berarti kaos merch, celana pendek, dan sneakers. Dari dulu hingga kini, band seperti Stretch Arm Strong dan New Found Glory tetap jadi inspirasi. Mereka bukan hanya menghentak telinga, tapi juga mempengaruhi cara Putu berpenampilan dan berpikir.

Meski kini playlist hariannya juga diisi musik folk akustik lokal seperti Iksan Skuter, Nosstress, Hankestra, dan Empat Detik Sebelum Tidur, saat penat menumpuk, ia tetap kembali ke akar: album Free At Last dari Stretch Arm Strong dan Not Without A Fight dari New Found Glory jadi penawar mujarab.

Saat kantong mulai terisi dari kerja kerasnya, Putu menyalurkan cintanya pada koleksi. Vinyl jadul seperti The Beatles, Sonny Boy Williamson, The Carpenters, Bill Haley dan lainnya menjadi harta karun. Ditambah koleksi kaos band dan satu gaya hidup abadi: vespa. Kaos band bukan sekadar fashion, melainkan identitas. Santai tapi berattitude.

Panggung pertamanya? Pensi SMA, membawakan lagu-lagu Psychofun, band asal Bali. Lalu, saat kuliah di Malang, ia menemukan “rumah” baru: toko merch Pastbrik. Di sana, ia menemukan komunitas, teman sefrekuensi, dan terlibat aktif dalam gigs kecil seperti East O Rama. Kini di Kupang, semangat itu berlanjut lewat partisipasinya di MMF Merch 2024.

Meski terikat pada rutinitas kerja, Putu tetap menjaga keseimbangan. Di bidang TJSL tempatnya bekerja, ia membawa semangat idealisme dan ingin mengangkat UMKM kreatif, menyelaraskan antara skena underground dengan program sosial perusahaan. Work-life balance bukan sekadar jargon, tapi nyata ia wujudkan.

Tentu saja, waktunya terbeli perusahaan. Tapi itu tak membuatnya menyerah. Ia sadar, menjaga mental health adalah bagian dari profesionalisme. Dan di Kupang, skena kreatif baru menyentuh kulit luar. Ia percaya, bila diberikan ruang, komunitas-komunitas ini mampu menyentuh kulit terdalam: mencipta perubahan. Gigs kecil, komunitas konsisten, bukanlah kesia-siaan—itu jati diri.

Di tengah dominasi musik “jedag-jedug”, siapa sangka, skena underground di Kupang masih bernyawa. Komunitas seperti Komonarcy, Bisugema, This is Gospel, dan lainnya adalah buktinya. Mereka berkarya, mencetak merch, menghidupkan industri kreatif. Tapi stigma masih jadi tembok besar. Menurut Putu, ini hanya soal waktu dan ruang—karena di balik itu, ada militan sejati yang terus menyala.

Tantangannya? Pergerakan masih berjalan sendiri-sendiri, perizinan keramaian pun jadi batu sandungan. Tapi Putu yakin, dengan komunikasi yang tepat, sinergi dengan aparat dan dinas pariwisata bisa terbangun. Kota Kupang, katanya, bisa kok seperti Jakarta dengan JakCloth, Bandung dengan Hellprint, atau Bali dengan Costume War.

Dukungan terbesarnya datang dari keluarga. Anak laki-lakinya sudah dikenalkan pada komunitas dan musik sejak dini. Ia ingin membentuk mental dan sosial mereka agar mandiri sejak kecil. Sang istri pun mendukung penuh, selama semua kegiatan itu berdampak positif. Tantangannya hanya satu: membuktikan bahwa ini bukan sekadar senang-senang, tapi kegiatan yang membawa manfaat bagi khalayak.

Harapannya untuk Kupang? Lebih banyak gigs, bazar, seminar, dan pameran. Menunjukkan bahwa komunitas underground bisa hidup berdikari, bahkan membuka lapangan pekerjaan. Ia bermimpi menggandeng dinas, aparat keamanan, hingga universitas—agar skena Kupang dikenal luas dan jadi daya tarik wisata. Untuk Indonesia, Putu ingin agar panggung besar tak hanya milik kota besar. Kawasan Timur harus diperhatikan—komunitas NTT sudah siap!

Kenapa masih bertahan dengan musik punk? Karena musik dan stylenya tak pernah lekang oleh waktu. Mereka tak ikut tren. Mereka konsisten. Filosofi DIY (Do It Yourself) dan nilai equality jadi fondasi hidupnya—kemandirian, inisiatif, dan kesetaraan dalam segala bidang.

Dan semua ini tak lepas dari peran keluarga. Selama berdampak positif bagi kesehatan mental dan pertumbuhan bersama, keluarga selalu jadi penyokong utama. Mungkin itu juga kenapa semangat Putu tak pernah redup.

“The secret to joy isn’t in seeking what we don’t have, but in creating meaning with what we do.”
Rahasia kebahagiaan bukanlah dalam mencari apa yang tidak kita miliki, tetapi dalam menciptakan makna dengan apa yang kita lakukan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *