EBAH ROCK: JEJAK KOLEKTIF DARI LIMBANGAN [JABAR] KE KUPANG [NTT]

Nama aslinya Yadi Mulyadi, tapi di skena punk dan kolektif, ia lebih dikenal sebagai Ebah Rock. Ia berasal dari Limbangan, sebuah wilayah kecil di Garut, Jawa Barat. Perjalanan mengenal dunia punk dimulai saat ia masih duduk di bangku SMA kelas 1. Kala itu, ia ikut terlibat dalam acara di kampung yang diorganisir oleh para senior di lingkungannya. Acara itu membekas di ingatan karena membawa nilai kolektif dan seni yang kuat—semuanya dirancang bersama, dari patungan dana hingga eksekusi acara, tanpa campur tangan sponsor ataupun kapitalisme. Dari situ, semangat kolektif mulai tumbuh dalam dirinya.

Tahun 2015, Ebah turut membidani lahirnya Gunaraga Kolektiva, komunitas yang awalnya bernama Gunaraga Punk. Gunaraga bukan sekadar ruang berkumpul, tapi menjadi semacam “bengkel jati diri” yang menampung berbagai karakter dan latar belakang—dari musisi, pemikir kritis, hingga para pencari hiruk-pikuk. Visi Gunaraga melampaui batasan musik atau kegiatan sosial; ia hadir sebagai ruang alternatif untuk membangun kesadaran, menumbuhkan solidaritas, dan melawan ketimpangan. Komunitas ini berjalan tanpa ketergantungan pada kapital, mengandalkan semangat gotong royong sebagai napas utama.

Berbagai kegiatan telah dilahirkan dari Gunaraga: mulai dari Limbangan Eundeug 1 dan 2, Limbangan Punk Fest, hingga acara berbagi dan studio gigs. Semuanya dikerjakan dengan prinsip “dari, oleh, dan untuk” komunitas. Walau hiruk-pikuk dan dinamika tidak terhindarkan, semangat Gunaraga tetap kokoh berdiri, menolak tunduk pada kepentingan-kepentingan semu.

Bagi Ebah, terlibat aktif di dunia kolektif bukan soal gaya hidup, tapi soal nilai juang yang tidak bisa dibeli. Prosesnya yang penuh pengorbanan justru menjadi kenikmatan tersendiri. Yang paling berkesan selama delapan tahun bersama Gunaraga adalah bagaimana mereka tumbuh menjadi keluarga. Satu sama lain saling mengerti, saling mendukung, dan tetap bergandengan tangan.

Tahun 2022, takdir membawanya ke Kupang, NTT. Ia diajak seorang sahabat yang sepemikiran untuk mencoba usaha bersama di tanah baru. Kupang, dengan segala kearifan lokal dan budaya leluhurnya, menjadi ruang yang hangat dan terbuka. Di sana, Ebah langsung mencari dan menemukan komunitas pergerakan. Ia dipertemukan dengan Roy dari ESCB, dan sejak itu, dirinya kembali merasa berada di rumah. ESCB baginya bukan sekadar komunitas, tapi keluarga baru yang menyambut dengan tangan terbuka.

Di Kupang, Ebah tetap menjadi dirinya sendiri, membaur tanpa kehilangan jati diri. Ia aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ESCB dan turut serta dalam paguyuban Sunda. Selama ia mampu, ia akan terus berkontribusi, baik dalam bentuk tenaga maupun materi, demi keberlangsungan ruang-ruang alternatif tersebut.

Di tengah semua kesibukannya, Ebah juga sempat membentuk band bernama Media Hitam. Musiknya berpijak pada semangat anarcho, dengan pesan-pesan yang lugas dan kritis terhadap ketidakadilan, eksploitasi, dan perjuangan hidup. Band ini menjadi medium lain untuk menyuarakan keresahan dan harapan, memperluas jangkauan perlawanan dari ruang gigs ke relung pendengaran.

Sepanjang perjalanan ini, yang paling berkesan adalah ketika visi dan rasa dijalankan bersama. Menyatu dalam irama yang sama, menjadi energi yang tak tergantikan. Itulah mengapa, menurutnya, keberadaan ruang kolektif dan komunitas alternatif masih sangat penting. Ruang-ruang ini menjadi sarana komunikasi, tempat berbagi inspirasi, dan wadah tumbuh bersama dalam semangat kesetaraan.

Semua yang pernah terlibat dalam kolektif telah memberikan pengaruh besar dalam hidupnya. Tak peduli besar kecilnya peran, semuanya punya kontribusi dalam membentuk ide, keputusan, hingga militansi yang mengakar kuat dalam semangat kolektif.

Ebah menutup dengan pesan yang lugas dan penuh harapan:

Pesan dan harapan untuk semua pelaku pergerakan kolektifisme, “jangan memudar dalam berkoletif” dengan siapapun (Ada sifat sosial yg mendasar dari semua manusia). Akan selalu saling membutuhkan dan memperjuangan hak-hak semua ruang kesetaraan, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan sosial di semua ranah.

“Jangan pernah lelah berkolektif, kita saling membutuhkan untuk memperjuangkan kesetaraan, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan sosial di semua ranah.”


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *